Rabu, 16 November 2011

Jangan Remehkan Kekuatan Imajinasi Anda

Pembaca, jangan meremehkan imajinasi. Imajinasi bukanlah gambaran kosong atau angan-angan tanpa isi. Sejarah telah membuktikan banyak tokoh terkenal menjadi besar berkat imajinasinya yang luar biasa. Imajinasi ternyata mempunyai kekuatan. Albert Einstein pernah mengatakan, “Energi mengikuti imajinasi”. Tentu saja, Einstein serius dengan ucapannya. Apalagi Einstein mengamini hukum kekekalan energi. Dia sendiri mengaku telah membuktikannya saat dia ditanya bagaimana dia mampu menghasilkan begitu banyak teori spektakuler, dia menjawab imajinasinyalah yang menjadi salah satu bahan bakar dari idenya itu.

Lantas, bagaimanakah imajinasi yang dihasilkan pikiran kita bekerja? Pada prinsipnya, perlu Anda sadari, pikiran kita adalah sebuah magnet yang luar biasa. Pikiran kita mampu menjadi otopilot atas apa yang ingin kita wujudkan, yang kita cita-citakan bahkan yang sekadar kita imajinasikan.

Setiap orang boleh mempunyai mimpi akan masa depan. Mimpi menjadi seorang penulis hebat, misalnya, atau menjadi sastrawan, insinyur, dokter, dan sebagainya. Dalam perwujudan mimpi inilah kekuatan imajinasi berperan. Sekali kita merencanakan dan mematrikan imajinasi dalam pikiran kita, fisik kita pun mulai mencari jalan bagaimana merealisasikan apa yang sudah kita pikirkan.

Untuk mudahnya, pembaca, ada dua kisah tentang kekuatan imajinasi yang ingin saya ceritakan di sini. Pertama, kisah hidup Mayor James Nesmeth, seorang tentara yang doyan main golf. Dia begitu tergila-gila dengan golf. Tapi sayang sekali, sebelum menikmati kesempatan itu, dia ditugaskan ke Vietnam Utara.

Sungguh sial, saat di Vietnam dia ditangkap oleh tentara musuh dan dijebloskan ke penjara yang pengap dan sempit. Dia tidak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan siapa pun. Situasi pengap, kosong, dan beku itu sungguh menjadi siksaan fisik dan mental yang meletihkan baginya.

Untungnya, Nesmeth sadar dirinya harus menjaga pikirannya agar tidak sinting. Dia mulai berlatih mental. Setiap hari, dengan
imajinasinya, dia membayangkan dirinya berada di padang golf yang indah dan memainkan golf 18 hole. Dia berimajinasi secara detail. Dia melakukannya rata-rata empat jam sehari selama tujuh tahun.

Lantas, tujuh tahun kemudian, dia pun dibebaskan dari penjara. Namun, ada yang menarik saat dia mulai bermain golf kembali untuk pertama kalinya. Ternyata, Mayor James Nesmeth mampu mengurangi rata-rata 20 pukulan dari permainannya dulu. Orang-orang pun bertanya kepada siapa dia berlatih. Tentu saja, tidak dengan siapa pun. Yang jelas, dia hanya bermain dengan imajinasinya. Tetapi, ternyata itu berdampak pada hasil kemampuannya. Nah, inilah kekuatan imajinasi itu.

Kisah kedua adalah cerita tentang Tara Holland, seorang gadis yang bermimpi menjadi Miss America sejak kecil. Pada 1994, dia berusaha menjajaki menjadi Miss Florida. Sayangnya, dia hanya menyabet runner-up pertama. Tahun berikutnya dia mencoba, tapi lagi-lagi hanya di posisi yang sama. Hati kecilnya mulai membisikkan dirinya untuk berhenti.


Bulatkan tekad

Tapi, dia bangkit dan membulatkan tekadnya lagi. Dia pindah ke negara bagian lain, Kansas. Pada 1997, dia terpilih menjadi Miss Kansas. Dan di tahun yang sama, dia berhasil menjadi Miss America! Yang menarik, adalah saat Tara diwawancarai setelah kemenangannya, Tara menceritakan bagaimana dia sudah ingin menyerah setelah dua kali kalah di Florida.

Tapi, tekadnya sudah bulat. Selama beberapa tahun kemudian, dia membeli video dan semua bahan yang bisa dipelajari tentang Miss Pagent, Miss Universe, Miss America, dan sebagainya. Dia melihatnya berkali-kali. Setiap kali melihat para diva meraih penghargaan tertinggi, Tara membayangkan dirinyalah yang menjadi pemenangnya.

Satu lagi yang menarik dari wawancaranya adalah saat dia ditanya apakah dia merasa canggung saat berjalan di atas karpet merah. Dengan mantap, Tara Holland menjawab, “Tidak sama sekali. Anda mesti tahu saya sudah ribuan kali berjalan di atas panggung itu.”

Seorang reporter menyela dan bertanya bagaimana mungkin dia sudah berjalan ribuan kali di panggung, sementara dia baru pertama kalinya mengikuti kontes. Tara menjawab, “Saya sudah berjalan ribuan kali di panggung itu… dalam pikiran saya.”

Pembaca, dua kisah nyata di atas menceritakan tentang kekuatan imajinasi. Kita memujudkan apa yang kita lihat dalam pikiran kita. Imajinasi adalah energi. Energi yang kalau diolah terus-menerus akan mewujud dalam apa yang kita imajinasikan itu.

Kekuasaan boleh memenjarakan fisik, membungkam mulut, tetapi sama sekali tidak bisa memasung imajinasi kita. Dengan kekuatan
imajinasi, masa depan akan menjadi milik kita sesuai yang kita cita-citakan.

Dengan imajinasi, kita bisa menjadi tuan atas takdir kita, I am the master of my fate. Stephen Covey dalam 7 Habits mengatakan kita membuat kreasi mental lebih dulu sebelum kreasi fisiknya.

Semakin kuat gambaran mental yang kita miliki, semakin besar energi yang kita miliki untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika kita terlalu banyak membayangkan yang buruk dan negatif, kita menarik energi negatif dan kita semakin ter-demotivasi untuk meraihnya.

Pepatah Latin mengatakan, Fortis imaginatio generat casum, artinya imajinasi yang jelas menghasilkan kenyataan. Dengan demikian, jangan sia-siakan kekuatan imajinasi dalam diri kita. Imajinasi mampu menjadi kendaraan kita menuju apa saja yang kita mimpi dan cita-citakan.

Imajinasi akan mengumpulkan seluruh energi kita untuk mewujudkannya. Dalam aplikasi sehari-hari, dengan imajinasi, kita membayangkan hal-hal positif yang akan kita lakukan dan membayangkan hal-hal positif yang akan terjadi. Betapa kita akan melihat langkah dan tindakan kita mulai mengarah pada apa yang kita bayangkan. Dan…the dreams will come true!

Sumber :

Sukses Berkat Kekuatan Imajinasi
oleh Anthony Dio Martin,
Psikolog, penulis buku best seller EQ Motivator, dan Managing Director HR Excellency

BELAJAR DARI JEPANG MEMBENTUK KOMUNITAS TERDIDIK

Di era globalisasi ini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas, menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya masalah sumber daya manusia (SDM).

Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.

Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.

Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.

Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis, karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.

imigrasi.jpgSifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu, hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita, ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?

Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik, sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam waktu singkat Jepang sudah  BERPRESTASI  menembus 16 besar pada piala dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai kisruhnya suporter.

Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas. Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.

“Knowledge is power, and character is more, but lucky is everything”

Written BY : HARIS